Minggu
kedua pada bulan ke dua di tahun 2015 ini, seperti lonceng bagiku, lonceng atau
bel sekolah yg berteriak “hoy hoy, sampai kapan kau ingin terus jadi mahasiswa
di kampus ini?”.
Ya,
tahun 2015 awal ini merupakan tahun terakhir ku sebagai mahasiswa di salah satu
universitas swasta di Jakarta. Jika tak ada aral melintang, insha Alloh jenjang
studi ku untuk mendapat gelar sarjana komunikasi akan terwujud.
Dengan
harapan itu, diri ini mencoba untuk menuju secretariat fakultas, mencari nilai
pada akhir semester lalu. Dan ternyata nilai nilainya memuaskan.
Nilai,
gelar, nilai gelar, itu yang ada dipikiranku saat itu, jika nilaiku baik, maka
jalan untuk meraih gelar sarjana semakin mudah. Logika ini mulai terpatri pada
nilai dan gelar.
Aku
mulai amnesia, mulai lupa secara sengaja, bahwa inti dari berkuliah adalah
mencari ilmu, karena mencari ilmu adalah salah satu cara untuk dipermudahkan
oleh Alloh untuk menggapai surgaNya.
Diri
ini hanya berpatokan pada nilai nilai, gelar dan lulus. Tanpa sadar akan esensi
nya.
Sebuah
ironi memang, aktivis penimba ilmu yang lupa akan misinya, terpaku pada angka
dari 1 sampai 10, atau nilai dari A sampai E tanpa menghargai proses penimbaan
ilmunya. Lalu berujung pada hanya sebatas upacara dengan bebalut baju toga. Dan
amnesia terhadap visi hakikinya.
nilai
mesti bagus, jadi ujian harus bagus, bagaimanapun cara nya, "bagaimanapun
caranya" kalimat ini yg bahaya
mengubah
mindset kita menjadi pragmatis negatif, proses jadi tak penting lagi, yg
penting hasil akhir.
"meski
belajar hanya sistem kebut semalam, kan masih bisa pake "phone a
friend", atau "spion kanan spion kiri" yg penting lulus"
itu
mindset para aktivis penimba ilmu saat ini yang melatih diri menjadi pencuri,
mayoritas. tapi tak semua. entah yg salah kurikulum nya atau pola pikir
manusianya
kurikulum
beberapa universitas yg masih terpaku pada teori untuk menjawab pertanyaan
"what" tanpa adanya praktek yg menjawab pertanyaan "why"
dan "how" yang membentuk perilaku mayoritas para aktivis penimba ilmu
di negerimu ini.